M T A B : AKU RINDU HMI (HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM)

Jumat, 25 Juli 2025 - 07:20 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto. Aku Rindu HMI Oleh : M T A B

Foto. Aku Rindu HMI Oleh : M T A B

OPINI | NALARPOS.ID Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi mahasiswa yang secara historis memiliki rekam jejak panjang dalam mencetak tokoh-tokoh pemikir bangsa. HMI pernah menjadi dapur ide, kawah candradimuka, dan benteng intelektual yang mewarnai arah gerak perubahan sosial dan politik Indonesia.

Namun hari ini, dengan berat hati saya katakan: saya rindu HMI yang dulu. Rindu HMI sebagai inkubator gagasan, bukan sekadar arena kontestasi jabatan.

Saya bergabung dengan HMI bukan hanya untuk ikut diskusi formalitas, bukan pula untuk berburu posisi di struktur organisasi. Saya bergabung karena percaya bahwa di ruang-ruang kecil HMI, pemikiran besar bisa tumbuh.

Tapi kini, ruang itu semakin sunyi. Ide-ide kritis yang seharusnya menjadi napas utama HMI perlahan tergantikan oleh agenda-agenda pragmatis.

Sejarah mencatat, HMI melahirkan nama-nama besar seperti Nurcholish Madjid, Lafran Pane, Dawam Rahardjo, hingga Anies Baswedan. Mereka bukan hanya aktivis, tapi juga pemikir. Mereka tidak sekadar mengejar kursi ketua umum, tapi merumuskan haluan moral bagi bangsa.

Gagasan Islam Yes, Partai Islam No dari Cak Nur adalah bukti bahwa HMI pernah jadi laboratorium ide-ide progresif dan kontroversial.

Dalam forum-forum sederhana, dari basecamp kecil hingga ruang diskusi yang beralas tikar, para kader HMI dulu membedah filsafat, politik, ekonomi, hingga teologi. Mereka membaca, menulis, berdebat, dan terus mempertajam nalar. Dari sanalah HMI pernah berjaya. Karena ia bukan sekadar organisasi, tapi tempat penempaan akal sehat dan integritas.

Hari ini saya melihat banyak cabang HMI yang kehilangan ruh intelektualnya. Diskusi menjadi kegiatan formalitas untuk menggugurkan program kerja. Buku-buku digantikan stempel dan proposal. Forum training kadang lebih sibuk membahas teknis konsumsi ketimbang isi materi.

Jabatan menjadi orientasi. Seolah-olah tujuan akhir dari proses kaderisasi adalah menjadi Ketua Umum, Sekretaris, atau Koordinator Lapangan. Gagasan? Jarang muncul. Bahkan kadang dianggap “Tidak Praktis“. Ketika seorang kader mengusulkan tema diskusi filsafat politik, ia dianggap terlalu berat dan “tidak kekinian”.

Padahal HMI bukan lembaga event organizer. HMI seharusnya membentuk manusia yang berilmu amaliah, beramal ilmiah, dan berakhlaqul karimah, sebagaimana misi awal yang diwariskan para pendiri. Gagasan adalah darah organisasi. Tanpa gagasan, HMI bukan siapa-siapa.

Tulisan ini bukan untuk menyalahkan siapa-siapa. Ini juga otokritik untuk diri saya sendiri, karena saya adalah bagian dari organisasi ini. Kita semua punya kontribusi dalam menghidupkan atau mematikan budaya intelektual di dalamnya.

Kita Perlu Jujur: sudah berapa banyak gagasan yang kita tulis? Sudah berapa diskusi yang benar-benar kita gelar dengan serius? Sudah sejauh apa kita menyelami pemikiran Islam, politik kebangsaan, dan persoalan keumatan? Atau jangan-jangan kita hanya sibuk membentuk panitia, membagi struktur, dan membuat spanduk?

HMI harus kembali ke akarnya: menjadi laboratorium pemikiran dan pusat pengembangan ide-ide strategis untuk bangsa. Mari kita hidupkan kembali budaya literasi. Mari kita gelar diskusi yang jujur dan berani, meski tidak selalu populer. Mari kita ciptakan ruang-ruang kecil yang melahirkan pemikir besar.

HMI, ya, Himpunan Mahasiswa Islam, dulu adalah ruang penuh magis. Sebuah universitas tandingan yang gratis tapi prestisius. Di sana, filsafat dan politik bukan hanya bahan diskusi menjelang UTS, tapi makanan sehari-hari yang diolah dengan penuh gairah. Di sana, kita bukan cuma belajar bicara, tapi belajar berpikir sebelum bicara.

Kini? HMI kadang lebih mirip jasa penyedia MC, konsumsi, dan moderator seminar. Inkubator gagasan berubah menjadi inkubator event organizer. Serius, saya pernah datang ke forum HMI, dan yang paling ramai dibicarakan bukan soal keadilan sosial atau problem epistemologi dalam Islam, melainkan “Baju Panitia Udah Jadi Belum?” atau “Snack Sore Masih Sisa Nggak?”

Aku rindu, sungguh rindu, pada era ketika ide adalah mata uang utama, bukan sertifikat kepanitiaan.

Dulu, menjadi kader HMI berarti menjadi makhluk yang langka. Kita diajak berkenalan dengan Ali Syariati sebelum tahu siapa itu Dilan. Kita diskusi soal civil society sebelum tahu bedanya coffee shop dan co-working space. Buku Manusia dan Islam bisa bikin kita kehilangan pacar karena terlalu sibuk membacanya, tapi kita rela demi sebuah pemahaman eksistensial.

Kini, pembahasan “Apakah Liberalisme Bisa Bersanding Dengan Nilai Keislaman?” dikalahkan oleh “Siapa Yang Bisa Edit Video Pakai Capcut?” atau “Siapa Yang Bawa Kabel Roll?”Ah, HMI-ku… dulu kamu rumah gagasan, kini kamu rumah logistik.

Lebih miris lagi, kata “Kajian” sekarang lebih identik dengan update infografis Canva ketimbang diskusi pemikiran. Yang penting ada template, judul catchy, dan logo““HMI CABANG X”di pojok kanan. Soal isinya? Bisa nanti yang penting feed Instagram tidak kosong.

Mari kita bicara soal intelektualitas. Dulu, kader HMI berlomba-lomba mencari waktu untuk membaca, bukan mencari alasan untuk tidak membaca. Dulu, membaca buku adalah gaya hidup. Sekarang, membaca caption IG dirasa sudah cukup untuk memahami geopolitik Timur Tengah.

Lucunya, banyak juga yang mengaku “Intelektual Progresif” tapi alergi pada kutipan panjang. Diskusi tentang negara kesejahteraan dikira sedang ngomongin bansos. Beda antara demokrasi deliberatif dan demokrasi prosedural pun dianggap seperti beda antara kopi tubruk dan kopi susu.

Apa kabar forum-forum kecil di sekretariat? Forum di mana orang bisa berdebat sengit soal pemikiran Nurcholish Madjid tanpa takut dibilang sok pintar? Sekarang, kalau terlalu sering bahas buku malah dibilang “Nggak Praktis” padahal yang praktis justru ketidaktahuan itu sendiri.

Saya masih ingat, dulu HMI mengajarkan saya satu hal penting: berpikir sebelum bertindak, bukan sebaliknya. Kini, sepertinya kita lebih suka “Bertindak Sebelum Berpikir, Dan Kalau Bisa, Jangan Berpikir Sama Sekali”. HMI jadi tempat penuh aktivitas tanpa narasi, program tanpa ide, dan seremonial tanpa makna.

Kita merayakan pelantikan seperti pernikahan, tapi lupa menghidupi lembaga setelahnya. Kita sibuk membuat spanduk, tapi lupa membuat catatan. Kita punya akun medsos aktif, tapi tidak punya jurnal internal. Kita punya banyak rapat, tapi miskin hasil diskusi.

Dulu, HMI adalah pabrik ide, tempat orang merasa hina jika tidak punya opini. Sekarang, HMI lebih mirip gudang backdrop berproduksi banyak hal, tapi sayangnya yang diproduksi bukan gagasan, melainkan tumpukan dokumentasi acara.

Saya rindu duduk di samping teman yang kalau diajak ngobrol, jawabannya mengutip Al-Ghazali atau Quraish Shihab. Saya rindu suasana malam panjang di sekret, ketika rokok dan kopi habis tapi semangat berpikir justru menyala.

Dulu, HMI melahirkan orang-orang yang jadi rujukan: kalau ada isu HAM, ekonomi kerakyatan, atau Islam progresif, publik menoleh ke kader HMI. Sekarang, publik lebih tahu HMI karena viral rebutan mic di forum, atau terlibat dalam “Perang Stempel” antar cabang.

Sungguh, bukan ini yang saya rindukan.

HMI Dulu Tidak Takut Menjadi Minoritas

Di tengah kampus yang penuh hedonisme, HMI hadir sebagai oase. Kita percaya bahwa perjuangan memang tidak seksi, bahwa menjadi intelektual berarti menempuh jalan sunyi. Kita tahu kita minoritas, tapi tidak inferior.

Kini, sepertinya banyak dari kita justru ingin menjadi mayoritas yang medioker. Kita lebih senang ramai-ramai menjadi biasa-biasa saja, daripada sendiri dalam kebesaran gagasan. HMI dulu tidak takut kalah dalam jumlah, asalkan menang dalam nilai.

Kalau dulu kita bertanya “Apa Yang Bisa Kita Tawarkan Kepada Bangsa?”, sekarang pertanyaannya lebih ke “Berapa Yang Bisa Kita Kumpulkan Dari Acara Ini?” atau “Berapa Galon Air Untuk Pelantikan Besok?

Saya tahu, zaman berubah. Tapi seharusnya semangat tak ikut lebur. Teknologi mestinya jadi alat bantu, bukan pengganti. Diskusi Zoom mestinya tetap hangat dan penuh pemikiran, bukan sekadar formalitas absen lalu off-cam.

HMI tidak butuh nostalgia, HMI butuh transformasi yang setia pada ruh awalnya: menjadi kawah candradimuka para pemikir. Di tengah zaman di mana opini dibentuk oleh viralitas, HMI semestinya hadir sebagai pengimbang: menyaring, bukan sekadar menyebar.

Gagasan memang mahal. Tapi tidak perlu subsidi untuk memilikinya. Hanya butuh kemauan untuk membaca, untuk merenung, dan untuk bertanya: “Mengapa Kita Ada Di Sini?

Dulu, ketulusan itu nyata. Kader-kader bergerak bukan karena ingin eksis, tapi karena merasa ada yang harus diperjuangkan. Kini, tampaknya pergerakan harus sejalan dengan dokumentasi yang apik: “No Feed, No Struggle.”

Saya pernah melihat ada forum diskusi yang ditunda karena operator medianya belum datang. Bukan karena narasumber belum siap, bukan karena hujan badai, tapi karena “Nanti Gak Bisa Update Di Ig Story.” HMI kini terjebak dalam logika algoritma, bukan logika gagasan.

Saya rindu ketika keheningan adalah awal dari kontemplasi, bukan pertanda sinyal WiFi hilang.

Mari Pulang ke Rumah Pemikiran

Saya tidak sedang menjelekkan HMI. Tidak. Saya sedang rindu. Ini ungkapan cinta dari alumni yang melihat rumah lamanya kini berubah menjadi bangunan yang masih berdiri, tapi isinya entah ke mana.

Saya tahu masih banyak kader HMI yang berpikir. Yang membaca. Yang mengendapkan makna sebelum mengeluarkan pendapat. Yang percaya bahwa intelektualitas bukan barang usang. Yang tahu bahwa Islam, keindonesiaan, dan kemahasiswaan adalah tiga pilar yang harus dihidupkan, bukan sekadar dihafalkan.

Kepada kalian, saya titip rindu ini. Rindu pada HMI yang tak cuma membangun jaringan, tapi membangun nalar. HMI yang tidak hanya pandai membuat proposal, tapi juga membongkar struktur ketidakadilan.

Mari kita pulang. Tidak perlu dengan gegap gempita. Cukup dengan kesadaran bahwa berpikir adalah bentuk paling dasar dari mencintai bangsa ini.

Karena sesungguhnya, yang membuat HMI besar bukan jumlah pengurusnya, tapi jumlah gagasan yang lahir darinya.

Salam rindu untuk semua yang masih percaya bahwa gagasan adalah jalan sunyi yang paling terang.

Facebook Comments Box

Penulis : M T A B

Editor : Res

Follow WhatsApp Channel nalarpos.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Senator Lia Apresiasi Libur Tambahan: Prabowo Pemimpin Simpatik dan Aspiratif
Pendidikan Madura Naik Kelas, Universitas PGRI Sumenep Hadir sebagai Agen Perubahan
M T A B : Ketika Bajak Laut Lebih Bisa Diandalkan dari pada Negara
Dosen Sumut Antusias Ikuti Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah dan HKI di UMN Al Washliyah
SMPN 1 Brakas Nyaris Ambruk, Pemerintah Daerah Bungkam
Dua Dekade Eksistensi, MR Ball dan JBL Resto Kukuhkan Diri sebagai Pilihan Utama Hiburan
Perayaan Budaya dan Syukur, MR Ball 8 Tahun & JBL 15 Tahun Penuh Makna
Diduga Dirugikan Pemberitaan, Pihak Halilintar Cell Tuntut Hak Jawab
Berita ini 17 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 2 Agustus 2025 - 22:25 WIB

Senator Lia Apresiasi Libur Tambahan: Prabowo Pemimpin Simpatik dan Aspiratif

Sabtu, 2 Agustus 2025 - 17:34 WIB

Pendidikan Madura Naik Kelas, Universitas PGRI Sumenep Hadir sebagai Agen Perubahan

Kamis, 31 Juli 2025 - 18:02 WIB

M T A B : Ketika Bajak Laut Lebih Bisa Diandalkan dari pada Negara

Kamis, 31 Juli 2025 - 15:31 WIB

SMPN 1 Brakas Nyaris Ambruk, Pemerintah Daerah Bungkam

Rabu, 30 Juli 2025 - 21:26 WIB

Dua Dekade Eksistensi, MR Ball dan JBL Resto Kukuhkan Diri sebagai Pilihan Utama Hiburan

Berita Terbaru