OPINI | NALARPOS.ID — Setiap bulan Agustus, kita sebagai warga negara Indonesia diajak untuk kembali mencintai tanah air. Diajari kembali arti “Merdeka” lewat lomba makan kerupuk, cat tembok merah-putih, dan pemasangan bendera yang harus pas ukurannya, tidak boleh kekecilan, apalagi lusuh. Wajib hormat. Harus semangat.
Katanya, “Merdeka Itu Diperjuangkan Dengan Darah Dan Air Mata”, tapi entah kenapa, rakyat hari ini tetap harus meneteskan air mata demi mendapatkan minyak goreng subsidi.
Namun tahun ini, ada warna baru dalam perayaan yang katanya “Hari Paling Bersejarah”. Sebagian anak muda, dari kampung hingga kota, secara terbuka mengusulkan ide mengibarkan bendera bajak laut One Piece pada Hari Kemerdekaan, sebagai bentuk protes, satire, dan simbol kecewa terhadap negara yang katanya sudah merdeka.
Wacana ini sontak bikin geger. Para pejabat, tokoh tua, dan buzzer patriotik langsung mencak-mencak. “Ini penghinaan terhadap perjuangan para pahlawan!” “Ini tidak pantas!” “Ini adalah bentuk kurang ajar terhadap NKRI!”
Tapi tunggu dulu. Mungkin mereka terlalu cepat tersinggung, dan terlalu malas mendengar. Karena kadang, ketika rakyat sudah terlalu lelah berbicara jujur, mereka akan mulai berbicara dalam bahasa sindiran. Dan tidak ada sindiran yang lebih menyentuh saat ini daripada mengganti bendera negara dengan bendera fiksi dari dunia bajak laut.
Negeri Bajak Laut Lebih Manusiawi daripada Negeri Pejabat
Mari kita bicara jujur: mengapa bendera One Piece?
Karena di dunia One Piece, bahkan bajak laut punya prinsip. Punya keberanian. Punya semangat. Mereka tidak menjual rakyat kepada investor, tidak menjadikan anak muda sekadar mesin voting, dan tidak mempermainkan hukum dengan peraturan yang bisa diubah semaunya. Bajak laut Luffy dan kawan-kawan bukan sosok sempurna, tapi mereka berjuang untuk satu hal yang tak pernah bisa dibeli oleh kekuasaan: kebebasan.
Bandingkan dengan dunia kita. Rakyat disuruh mencintai negara, tapi negara sendiri sering kali memperlakukan rakyat seperti tamu tak diundang. Pajak dinaikkan, bansos dipotong, hukum dijual, suara dibungkam, kritik diblokir.
Di dunia kita, yang berkuasa bisa menjilat hukum. Yang miskin harus mencium tangan birokrat. Sedangkan di kapal Thousand Sunny, bahkan anak petani bisa jadi pahlawan.
Jadi, jika rakyat memilih kibarkan bendera One Piece di Hari Kemerdekaan, mungkin itu karena di dunia fiksi, harapan terasa lebih nyata. Sementara di dunia nyata, kenyataan justru terasa fiktif.
Kita sering mengutuk anak muda karena dianggap tidak peduli negara. Tapi coba lihat lebih jujur: negara seperti apa yang sedang mereka hadapi?
Pendidikan yang mahal tapi tidak menjamin kerja.
Kerja yang ada, tapi upah minim dan status magang terus.
Biaya hidup naik, sementara pejabat malah lomba flexing LHKPN.
Lingkungan rusak, tapi kritik malah dilaporkan ke polisi.
Apa mereka salah kalau merasa kecewa? Apa mereka radikal hanya karena berani jujur bahwa mereka tidak bangga dengan negara yang terlalu sering melupakan rakyat kecil?
Justru generasi inilah yang masih peduli. Mereka tidak pasrah, mereka masih bersuara. Bahkan jika suaranya harus lewat simbol bajak laut bertopi jerami. Mereka tidak ingin mengganti Pancasila dengan Jolly Roger. Mereka hanya ingin mengatakan satu hal: kami sudah terlalu sering dibajak, bukan oleh bajak laut, tapi oleh janji-janji politik.
Setiap 17 Agustus, kita disuruh mencintai tanah air. Tapi bentuk cinta yang diwajibkan itu terasa seperti cinta dalam kontrak kerja: harus pakai seragam, harus diam, harus hormat walau lapar. Bendera Merah Putih harus dikibarkan, tapi bendera rakyat kecil tidak pernah ditengok.
Mereka bilang, “Nasionalisme Tidak Boleh Diganggu”. Tapi bukankah nasionalisme seharusnya bukan sekadar seremoni? Bukankah cinta tanah air bukan hanya soal bendera, tapi soal bagaimana rakyatnya bisa hidup layak di atas tanahnya sendiri?
Mengibarkan bendera One Piece bukan bentuk penghinaan. Itu bentuk frustrasi. Karena terlalu banyak orang berseragam yang bicara soal nasionalisme, tapi di balik layar justru menjual aset bangsa, menumpuk harta, dan menindas yang lemah. Mungkin bajak laut dalam anime lebih nasionalis, karena mereka memperjuangkan keadilan, bukan hanya menghafal lagu wajib.
Lucunya, pemerintah sering kali sangat responsif pada hal-hal remeh, dan sangat lambat pada hal-hal penting.
Wacana pengibaran bendera One Piece langsung dipantau, diawasi, bahkan dituduh melanggar hukum. Tapi kasus korupsi? Penambangan ilegal? Mafia pangan? Dana desa fiktif? Masih “Didalami,” “Diproses,” atau “Belum Cukup Bukti”.
Rakyat yang ingin mengibarkan bendera bajak laut dituduh makar. Sementara pejabat yang merampok anggaran malah dapat remisi.
Apa ini negara? Atau lelucon panjang yang tidak lucu?
“Indonesia sudah merdeka sejak 1945,” begitu katanya. Tapi bagi banyak rakyat, kemerdekaan itu masih sebatas tanggal, belum jadi kenyataan. Mereka masih harus merdeka dari kemiskinan, dari pengangguran, dari hukum yang tebang pilih, dari negara yang lebih sibuk memoles citra ketimbang membela rakyat.
Mengibarkan bendera One Piece di Hari Kemerdekaan bukan ajakan untuk memberontak. Tapi ajakan untuk berpikir. Apakah kita sudah benar-benar merdeka? Ataukah kita hanya mengganti penjajah asing dengan penjajah ber-KTP Indonesia?
Mungkin, lewat simbol fiksi itu, rakyat ingin bilang:
“Kami tidak butuh bendera yang hanya dikibarkan setiap 17 Agustus. Kami butuh negara yang hadir setiap hari dalam kehidupan kami.”
Jadi, jika kamu melihat satu-dua rumah mengibarkan bendera bajak laut saat Hari Kemerdekaan nanti, jangan buru-buru menghakimi. Mungkin itu bukan karena mereka tidak cinta Indonesia. Tapi karena mereka terlalu cinta, sampai tak tahan melihatnya dirusak dari dalam.
Mereka ingin menyentil, bukan menghancurkan. Mereka ingin didengar, bukan dihukum. Dan yang paling penting: mereka masih berharap.
Karena satu hal yang selalu diajarkan oleh One Piece dan juga oleh para pendiri bangsa dulu adalah bahwa harapan tidak boleh mati. Bahkan dalam dunia yang kejam, bajak laut pun bisa bermimpi tentang kebebasan. Maka, rakyat pun punya hak untuk bermimpi tentang negara yang adil.
“Kami bukan pengkhianat. Kami hanya ingin merdeka… beneran.”
Penulis : Riq