OPINI |NALARPOS.ID — Kelahiran Korps PMII Putri (Kopri) pada 25 September 1967 di Semarang, Jawa Tengah, merupakan momentum penting dalam sejarah gerakan perempuan Indonesia. Kehadirannya pada saat itu tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap dalam struktur organisasi PMII, tetapi sebagai penegasan bahwa perempuan memiliki ruang yang setara dalam mengisi kehidupan berorganisasi, kehidupan sosial, bahkan kehidupan kebangsaan.
Dalam situasi politik yang penuh gejolak pada masa itu, lahirnya Kopri menjadi penanda adanya kesadaran baru bahwa perempuan tidak boleh hanya ditempatkan sebagai objek pembangunan, melainkan harus hadir sebagai subjek yang berdaya, yang mampu memberikan arah dan warna dalam perjalanan bangsa.
Selama 58 tahun perjalanan, Kopri terus berkembang menjadi organisasi kaderisasi perempuan yang masif dan berdaya tahan tinggi.
Ia hadir bukan semata-mata untuk memperkuat internalisasi kader putri PMII, tetapi juga untuk memberikan jawaban atas persoalan sosial yang menimpa masyarakat, terutama terkait isu-isu perempuan dan anak.
Semangat yang lahir sejak awal berdirinya, yakni progresifitas, masih terus melekat hingga kini. Progresifitas itu tercermin dari keberanian melawan segala bentuk ketidakadilan, menentang diskriminasi, dan berkomitmen menghadirkan perubahan sosial yang lebih baik.
Kopri tidak hanya berhenti pada kerja internal, melainkan selalu melangkah lebih jauh untuk menyentuh realitas yang dialami masyarakat.
Gerakan progresif yang digelorakan Kopri dapat dilihat dalam berbagai bentuk aktivitas nyata, mulai dari pendampingan perempuan korban kekerasan, penyuluhan terhadap bahaya pernikahan dini, kampanye kesetaraan gender, hingga pemberdayaan ekonomi bagi perempuan yang rentan secara sosial.
Semua langkah ini menunjukkan bahwa gerakan perempuan tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Semangat kritis yang selalu dijaga menjadi motor penggerak, namun sikap kritis itu tidak dibiarkan tanpa arah. Kopri selalu berusaha menyeimbangkannya dengan kerja-kerja konkret yang mampu memberikan dampak langsung.
Progresifitas yang dibawa Kopri tidak semata-mata persoalan politik organisasi, melainkan lebih luas dari itu: sebuah keberanian untuk membayangkan dunia yang lebih adil dan setara.
Dunia yang tidak lagi dikuasai oleh budaya patriarki, tetapi dunia yang mampu memberikan ruang aman bagi setiap manusia, apa pun latar belakang dan identitasnya.
Dalam kerangka inilah, gerakan Kopri menjelma sebagai ruang progresif yang tak hanya berpihak pada perempuan, melainkan juga pada kelompok rentan lain yang kerap tersisihkan. Gerakan perempuan, pada titik ini, adalah gerakan kemanusiaan.
Membangun peradaban inklusif adalah cita-cita besar yang terus diperjuangkan. Di tengah laju globalisasi, arus digitalisasi, dan perubahan sosial yang begitu cepat, perempuan berhadapan dengan tantangan baru. Kekerasan berbasis gender online, eksploitasi digital, hingga bias kebijakan yang masih sering muncul menjadi bagian dari persoalan yang harus dijawab.
Kopri dalam usianya yang matang menempatkan diri sebagai agen perubahan, yang senantiasa mengawal agar ruang publik tidak hanya ramah bagi laki-laki, tetapi juga aman dan nyaman bagi perempuan.
Inklusifitas dalam pandangan Kopri bukan sekadar jargon, melainkan prinsip dasar yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata.
Peradaban sejati bukanlah peradaban yang hanya bangga pada kemajuan teknologi atau pertumbuhan ekonomi, melainkan peradaban yang mampu menciptakan ruang setara bagi semua.
Perempuan harus diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang, suara kelompok rentan harus didengar, serta hak-hak masyarakat yang termarjinalkan harus dihormati. Kopri dengan segenap potensi dan progresifitasnya berusaha menghadirkan wajah peradaban semacam itu. Melalui kerja edukasi, advokasi, dan pemberdayaan, gerakan ini menjadi bagian integral dari perjalanan bangsa menuju masa depan yang lebih adil.
Tentu, setiap zaman menghadirkan tantangan yang berbeda. Di satu sisi, ruang perempuan semakin terbuka, terlihat dari semakin banyaknya perempuan yang menempuh pendidikan tinggi, terjun ke dunia profesional, bahkan aktif dalam ranah politik.
Namun di sisi lain, ancaman juga terus bermunculan dalam bentuk yang semakin kompleks. Di titik ini, Kopri memandang penting untuk memperkuat kapasitas kader putri agar mampu menghadapi situasi dengan tangguh. Literasi digital harus ditingkatkan, kemampuan advokasi harus diperdalam, dan kepemimpinan berperspektif gender harus ditanamkan sejak dini.
Peluang besar sebenarnya terbentang luas. Dengan jumlah kader putri yang terus bertambah, serta akses terhadap teknologi dan informasi yang semakin mudah, Kopri memiliki modal kuat untuk melahirkan generasi perempuan yang kritis, kreatif, sekaligus berdaya saing tinggi.
Dari ruang gerakan Kopri, lahirlah pemimpin-pemimpin perempuan yang tidak hanya mumpuni di organisasi, tetapi juga mampu berkontribusi nyata di masyarakat. Kepemimpinan perempuan yang lahir dari rahim Kopri diharapkan mampu membawa warna baru dalam pembangunan bangsa: lebih empatik, lebih adil, dan lebih inklusif.
Di usia ke-58 ini, refleksi yang terus bergema adalah cita-cita melahirkan kader cendekia, yakni kader yang cerdas, mandiri-kreatif, sekaligus agamis. Cerdas berarti memiliki kecakapan intelektual untuk membaca realitas dengan jernih dan mengambil keputusan yang tepat.
Mandiri-kreatif berarti tidak bergantung pada pihak lain, melainkan mampu melahirkan gagasan serta inovasi yang bermanfaat. Agamis berarti berpegang teguh pada nilai-nilai spiritual dan moral sehingga setiap langkah perjuangan tidak kehilangan arah.
Kader cendekia adalah wajah masa depan Kopri. Dengan profil semacam itu, gerakan perempuan tidak hanya kuat di tingkat internal, melainkan juga berpengaruh di tingkat masyarakat luas. Dari tangan kader cendekia inilah cita-cita membangun peradaban inklusif akan semakin nyata.
Mereka akan bergerak di berbagai bidang—pendidikan, politik, ekonomi, maupun budaya—dan menghadirkan kepemimpinan yang berpihak pada keadilan.
Lima puluh delapan tahun perjalanan adalah bukti bahwa Kopri bukan sekadar organisasi, melainkan gerakan yang hidup, gerakan yang menyalakan api perjuangan, dan gerakan yang menghadirkan harapan.
Perjalanan panjang ini tidak hanya mencatat apa yang sudah dilakukan, tetapi juga mengingatkan pada tugas besar yang masih harus dituntaskan. Tantangan yang semakin kompleks tidak boleh membuat perjuangan surut, justru harus menjadi bahan bakar untuk melangkah lebih berani.
Momentum harlah ke-58 ini menjadi ruang refleksi sekaligus penguatan arah gerakan. Progresifitas tidak boleh redup, api perjuangan harus tetap menyala, dan ruang-ruang gerakan harus terus diperluas. Selama perempuan masih menghadapi diskriminasi, selama anak-anak masih rentan terhadap kekerasan, selama masyarakat masih diwarnai ketidakadilan, selama itu pula Kopri harus hadir sebagai cahaya yang menerangi.
Dengan keyakinan yang teguh, Kopri akan terus melangkah. Gerakan ini tidak hanya diperuntukkan bagi perempuan, melainkan bagi kemanusiaan secara menyeluruh. Dalam semangat progresif yang diwariskan sejak 1967, Kopri akan terus menjaga komitmen, memperluas kiprah, dan berkontribusi membangun peradaban yang inklusif.
Selamat harlah ke-58, Kopri tercinta. Semoga gerakan ini semakin kuat, semakin relevan, dan semakin berpengaruh dalam mewarnai perjalanan bangsa menuju masa depan yang lebih adil, setara, dan beradab.
PENULIS : Nor Kamilah (Kabid Gerakan dan Advokasi PC Kopri Jember)
Penulis : HM