Shibori Bukan Batik, Lalu Budaya Siapa yang Sedang Dijaga?

Jumat, 11 Juli 2025 - 09:45 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto. Ilustrasi Perempuan sedang Memegang Kain Batik

Foto. Ilustrasi Perempuan sedang Memegang Kain Batik

OPINI | NALARPOS.ID Di tengah semangat pemberdayaan perempuan dan pelestarian budaya, TP PKK Sumenep menggelar pelatihan “Batik Kontemporer Berteknik Shibori.”

Niatnya mulia, semangatnya patut diapresiasi. Tapi justru di sinilah letak masalahnya: kita sering terburu-buru memberi label “Budaya”, bahkan pada sesuatu yang bukan milik kita.
Shibori bukan batik.

Fakta yang bisa dibaca dalam banyak sumber ilmiah, bisa dicek di situs UNESCO, atau cukup buka dokumen resmi pemerintah tentang batik sebagai warisan budaya takbenda.

Shibori adalah teknik pewarnaan kain dari Jepang, bukan teknik batik khas Indonesia. Ia tidak menggunakan malam (lilin), tidak memakai canting, dan tidak melalui proses pelapisan warna secara bertahap seperti batik tulis atau cap.

Maka ketika disebut “Batik Teknik Shibori”, itu bukan edukasi – itu pembelokan istilah.

Tapi celakanya, pembelokan ini dipopulerkan justru oleh lembaga resmi, pejabat publik, dan bahkan media lokal, yang mungkin terlalu cepat ingin tampil inovatif tanpa memeriksa secara substansial: apa yang sedang mereka promosikan sebenarnya?

Dalam wacana kebudayaan, kejujuran terminologi sangat penting. Menyebut Shibori sebagai batik adalah seperti menyebut sushi sebagai pecel hanya karena sama-sama disajikan dingin.

Maka pertanyaan pentingnya: budaya siapa yang sedang dijaga? Budaya Madura? Budaya Indonesia? Atau justru budaya Jepang yang sedang diadopsi tanpa penyadaran?

Kita harus akui: banyak pejabat daerah, pelaku media, bahkan tokoh pendidikan, terjebak pada euforia branding tanpa literasi.

Yang penting ada pelatihan, ada pemberdayaan, ada headline positif – soal istilah, sejarah, atau akurasi budaya, itu urusan belakangan.

Ini bukan soal menolak inovasi. Tentu saja teknik ikat celup seperti Shibori bisa menjadi alternatif kreatif dalam pewarnaan kain. Tapi menyebutnya “Batik” adalah bentuk kompromi yang keliru,

karena justru merusak makna asli batik itu sendiri. Bahkan UNESCO pun hanya mengakui batik yang menggunakan teknik resist dengan malam sebagai warisan budaya Indonesia.

Pelatihan itu tentu bermanfaat. Tapi jika dasarnya kabur, maka hasilnya bukan kebanggaan budaya, melainkan kebingungan budaya.

Lalu bagaimana kita ingin bersaing di pasar global jika di level lokal saja, kita tidak tegas membedakan mana batik dan mana yang bukan?

Sikap ini menunjukkan satu hal: kita hidup di zaman yang rajin mengemas tapi malas memahami. Di mana promosi lebih penting daripada esensi. Di mana istilah “Budaya” dipakai sesuka hati, asalkan bisa masuk proposal dan mencetak penghargaan.

Budaya bukan sekadar motif. Budaya adalah makna, asal-usul, dan kejujuran naratif.

Maka kalau benar ingin memajukan perempuan, memperkuat ekonomi kreatif, dan menjaga identitas lokal – mari mulai dengan satu hal: gunakan istilah yang benar. Jangan lagi sebut Shibori sebagai batik. Sebut saja “Kain Celup Kreatif Teknik Shibori.” Jujur itu elegan.

Kalau tidak, kita bukan sedang menjaga budaya Madura. Kita sedang menyesatkan generasi dengan pujian palsu yang berakar pada miskin literasi.

Facebook Comments Box

Penulis : Fer

Follow WhatsApp Channel nalarpos.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow
Berita ini 5 kali dibaca

Berita Terkait

Jumat, 11 Juli 2025 - 09:45 WIB

Shibori Bukan Batik, Lalu Budaya Siapa yang Sedang Dijaga?

Berita Terbaru