Gedung Megah Ditinggal, APBD Digarap di Hotel: Demokrasi Terluka Rakyat Bertanya

Minggu, 13 Juli 2025 - 21:15 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto. Kantor DPRD Sumenep Tampak Dari Depan (Kanan) dan Hotel The Malioboro dan Conference Center Yogyakarta (Kiri).

Foto. Kantor DPRD Sumenep Tampak Dari Depan (Kanan) dan Hotel The Malioboro dan Conference Center Yogyakarta (Kiri).

OPINI | NALARPOS.IDGedung DPRD Sumenep berdiri megah di pusat kota, menjadi simbol kehadiran dan representasi suara rakyat. Namun, kenyataan di lapangan justru menghadirkan ironi yang membuat publik mengernyitkan dahi.

Alih-alih dimanfaatkan sebagai pusat aktivitas parlemen lokal, kantor wakil rakyat ini justru kerap terlihat sepi. Pertemuan penting, termasuk rapat pembahasan APBD Perubahan 2025, tidak digelar di gedung tersebut.

Yang mengejutkan, lokasi yang dipilih justru berada di luar daerah: The Malioboro Hotel & Conference Center, Yogyakarta.

Pilihan ini menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat. Apa urgensinya melaksanakan pembahasan krusial tentang anggaran daerah di luar kota? Adakah gedung DPRD Sumenep tidak layak pakai hingga harus “Hijrah” ke hotel berbintang di provinsi lain?

Bila alasan yang dikemukakan adalah karena ketidaklayakan fasilitas atau belum tuntasnya pembangunan kantor DPRD, maka ini menandakan kegagalan manajerial yang serius.

Bagaimana mungkin sebuah gedung yang dibangun dengan dana publik tidak bisa difungsikan sebagaimana mestinya?

Namun jika alasan sebenarnya adalah demi kenyamanan atau kemewahan, maka tindakan ini sangat menyakitkan nurani rakyat. Di tengah gencarnya kampanye efisiensi anggaran oleh pemerintah pusat, keputusan DPRD Sumenep justru terkesan mencolok, bahkan paradoks.

Pemerintah pusat telah mewanti-wanti agar seluruh daerah melakukan refocusing anggaran. Perjalanan dinas dipangkas, kegiatan seremonial diminimalisir, dan belanja-belanja yang tidak prioritas harus dikaji ulang.

Namun seolah kebal terhadap imbauan tersebut, DPRD Sumenep justru melaksanakan pembahasan anggaran di lokasi mewah nan jauh dari rakyatnya.

Pertanyaannya kini bergeser menjadi: apa yang sebenarnya dibahas di Yogyakarta? Apakah pembahasan itu memang benar-benar mendalam dan membawa manfaat besar untuk Kabupaten Sumenep? Atau justru menjadi ruang euforia, pelesiran terselubung, dan bagi-bagi kue anggaran?

Opini publik berkembang liar, karena minimnya transparansi dari pihak DPRD. Kegiatan yang sejatinya harus terbuka, justru menjadi tertutup dan jauh dari pengawasan masyarakat.

Tak sedikit yang menilai bahwa agenda semacam ini adalah bentuk kemewahan yang dibungkus dengan dalih kinerja legislatif.

Padahal, APBD adalah instrumen vital bagi pembangunan daerah. Setiap rupiah di dalamnya menentukan masa depan layanan publik, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga infrastruktur. Maka menjadi sangat penting agar pembahasannya dilakukan secara terbuka, dekat dengan rakyat, dan hemat anggaran.

Melakukan rapat di luar kota bukan hanya soal biaya transportasi, akomodasi, dan konsumsi yang membengkak. Lebih dari itu, ada jarak psikologis yang semakin lebar antara wakil rakyat dengan konstituennya. Mereka terlihat lebih peduli pada kenyamanan pribadi ketimbang amanah publik.

Rakyat Sumenep tentu layak merasa kecewa. Mereka tidak hanya menaruh harapan, tapi juga telah “Membayar” melalui pajak dan kontribusi lainnya, agar para wakilnya bekerja serius, fokus, dan berpihak pada kebutuhan masyarakat. Bukan malah menjauhkan diri dan menghabiskan anggaran dalam balutan kegiatan resmi.

Jika kegiatan di luar daerah ini dilakukan untuk memuluskan pembagian program per dapil, maka itu adalah praktik yang menyimpang.

Anggaran daerah bukan alat tawar-menawar politik, melainkan dokumen perencanaan pembangunan yang harus berorientasi pada kebutuhan dan keadilan sosial.

Transparansi dan akuntabilitas adalah dua prinsip utama dalam pengelolaan anggaran publik.

Jika DPRD Sumenep merasa bahwa langkah ini bisa dipertanggungjawabkan, maka mereka seharusnya tidak alergi terhadap kritik dan harus siap membuka data pembiayaan kegiatan tersebut ke publik.

Rakyat juga menuntut adanya evaluasi dari lembaga pengawas, termasuk inspektorat dan bahkan aparat penegak hukum, untuk memastikan bahwa agenda ini tidak menjadi modus pemborosan atau penyelewengan.

Jika perlu, hasil pembahasan di luar kota itu dipublikasikan secara terbuka agar bisa diuji manfaat dan efektivitasnya.

Ketika wakil rakyat sudah tidak lagi peka terhadap rasa keadilan publik, maka sejatinya mereka sedang mengkhianati mandat yang diberikan.

Kantor megah yang dibiarkan kosong, dan rapat mewah yang jauh dari rakyat, hanyalah simbol bahwa demokrasi di tingkat lokal sedang menuju titik kemunduran.

Harapan kita sebagai masyarakat Sumenep sangat sederhana: Gunakan gedung yang telah dibangun dengan uang rakyat. Laksanakan tugas dengan sederhana, terbuka, dan bertanggung jawab. Jangan permainkan kepercayaan masyarakat demi kenyamanan dan agenda tersembunyi.

Ke depan, rakyat harus semakin kritis. Suara yang mereka berikan dalam pemilu bukanlah tiket bagi para legislator untuk bersenang-senang, tapi mandat untuk bekerja keras.

Apalagi, jika amanah itu dibayar dengan pengorbanan dan penderitaan masyarakat yang belum pulih secara ekonomi.

Saat masyarakat semakin melek informasi dan aktif menyuarakan aspirasi, para wakil rakyat harus sadar bahwa mereka tidak bisa lagi bersembunyi di balik tembok tebal kantor atau kemewahan hotel berbintang. Publik menanti pertanggungjawaban yang nyata, bukan sekadar formalitas.

Yogyakarta boleh menjadi kota wisata yang indah dan penuh inspirasi, tapi jangan jadikan kota itu sebagai tempat menyembunyikan agenda-agenda sensitif yang harusnya dibahas di tanah kelahiran rakyat yang diwakili: Sumenep.

Penulis : Ach Toifur Ali Wafa (Pimpinan Redaksi nusainsider.com)

Facebook Comments Box

Penulis : Li

Follow WhatsApp Channel nalarpos.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Bangun Branding dan Citra Positif Melalui KataKitaUntag: Ketika Kata Jadi Kekuatan
Calon Sekda: Birokrasi? Penjual Regulasi?
OPINI : Fauzi As, Drama Migas di Ujung Madura
Dibalik Pabrik Hantu dan Mainan Pita Cukai rokok, Bupati Fauzi Tarik Rem Darurat, Nyaris Tanpa Leting Kanan
DPRD Sumut Gelar Seminar Penyebarluasan Ideologi Pancasila dan Wawasan Kebangsaan di Universitas Deztron Indonesia
OPINI : Negara Tidur Diatas Punggung Petani
Cukai Disulap Jadi Lumbung Uang, Bongkar PR Fiktif Ala King Maker
Konfercab Ini Milik Kita, Bukan Milik Mereka yang Selalu Sama
Berita ini 96 kali dibaca

Berita Terkait

Minggu, 13 Juli 2025 - 21:15 WIB

Gedung Megah Ditinggal, APBD Digarap di Hotel: Demokrasi Terluka Rakyat Bertanya

Minggu, 6 Juli 2025 - 19:45 WIB

Bangun Branding dan Citra Positif Melalui KataKitaUntag: Ketika Kata Jadi Kekuatan

Senin, 23 Juni 2025 - 22:54 WIB

Calon Sekda: Birokrasi? Penjual Regulasi?

Rabu, 18 Juni 2025 - 10:33 WIB

OPINI : Fauzi As, Drama Migas di Ujung Madura

Minggu, 15 Juni 2025 - 15:17 WIB

Dibalik Pabrik Hantu dan Mainan Pita Cukai rokok, Bupati Fauzi Tarik Rem Darurat, Nyaris Tanpa Leting Kanan

Berita Terbaru